Sabtu, 24 November 2012

MERETAS KEMANDIRIAN BANGSA


Much. Khoiri

Jumlah penduduk Indonesia menduduki peringkat dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat, namun kita belum memiliki identitas nasional yang kuat, belum memiliki peradaban yang berpengaruh. Kita belum diperhitungkan sebagai bangsa yang penting dalam percaturan dunia—bahkan hanya dianggap sebagai bangsa Dunia Ketiga yang lemah dan tidak memiliki daya tawar yang layak. Kebesaran jumlah penduduk masih identik dengan berbagai kelemahan.


Bahkan, menurut survei ASEAN Foundation terhadap 2.170 mahasiswa berusia 17-25 tahun, Indonesia kurang terkenal di kalangan muda dan terpelajar—kalah dibandingkan dengan Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia, sebagai salah satu negara pendiri ASEAN, terbesar, terluas, dan terbanyak penduduknya, secara ironis hanya dianggap sebagai negeri yang kecil.” (Jawa Pos, 17/01/2008).

Kekurang-populeran Indonesiabahkan di kawasan ASEAN sekalipunmengimplikasikan betapa lemahnya kedudukan Indonesia dalam percaturan regional, terlebih lagi dalam percaturan internasional, dan karena itu daya tawarnya tidak laik dianggap kuat dan berwibawa. Dalam kalimat lain, Indonesia mungkin lebih patut diibaratkan sebagai manusia tambun yang tidak lincah bergerak, dan yang identik dengan inferioritas.

Hal demikian menyebabkan bangsa-bangsa maju yang superior dapat dengan leluasa memandang rendah kita, dan mengklaim kejayaan dominasi atau hegemoninya—bahkan melancarkan imperialisme baru baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Dengan pintu globalisasi, negara-negara maju melemahkan kita habis-habisan. Lewat gerbang globalisasi, mereka telah melancarkan gerakan ‘hegemoni’, yakni menggiring kita agar menilai dan memandang problematika sosial [ekonomi] dan budaya dalam kerangka yang diinginkan, dengan suka-rela dan tanpa paksaan (Gramsci dalam Patria & Arief, 2003: 120-121). 

Negara-negara maju tersebut menciptakan sejumlah mekanisme, sistem maupun simbol, dan dengannya berusaha untuk menghegemoni dan mengangkangi opini masyarakat internasional; dan bahkan berusaha mengarahkan masyarakat internasional untuk berpikir dan merasa menurut  apa yang dikehendaki untuk dipikirkan dan dirasakan.

Bahkan, dalam bahasa Dirks et.al (1994: 596), negara-negara maju tidak hanya menghegemoni kita pada tingkat ideologi, manipulasi atau indoktrinasi, tetapi juga meliputi hampir keseluruhan praktik dan harapan atas kehidupan secara utuh, termasuk indera dan energi kita, dan bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri dan dunia kita. Alangkah dahsyat dan halusnya globalisasi dikampanyekan ke sekeliling kita. Dan alangkah tidak berdayanya kita menghadapinya.

Dari perspektif ekonomi politik, aktor-aktor utama globalisasi itu—yakni TNCs, WTO, dan IMF/World Bank—menetapkan aturan-aturan tentang investasi, hak milik intelektual dan kebijakan internasional, serta mendesak atau mempengaruhi negara-negara untuk menyesuaikan kebijakan nasionalnya bagi kelancaran globalisasi atau pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.

Dalam hal ini mereka telah memainkan ‘ekonomi politik internasional’ yang canggih, yakni mengakses peran kekuasaan [negara-negara Dunia Ketiga] untuk mempengaruhi dan mewarnai pengambilan keputusan ekonomi (Mas’oed, 1994; Staniland, 2003)—tentu saja agar sejalan dengan kepentingan globalisasi.

Mekanisme pengintegrasian itu ditempuh dengan mengubah berbagai kebijakan yang menghalangi ketiga aktor globalisasi tersebut (terutama TNCs) untuk melancarkan ekspansi produksi, pasar, dan investasi. Permainannya tingkat tinggi; target pemainnya adalah elit-elit politik dan ekonomi yang memiliki kepentingan tersembunyi. Retorika politik yang mengatasnamakan rakyat hanyalah isapan jempol—dan merupakan akumulasi ironi dan paradoks yang sulit dinalar.

Mereka dalam posisi dominan dan menentukan. Langkah-langkah reformasi yang mereka dukung dimaksudkan untuk melapangkan jalan menuju tercapainya target penguasaan ekonomi global. Dengan pasal-pasal IMF dan World Bank, mereka bisa menekan negara-negara peminjam, termasuk Indonesia tentunya, untuk mematuhi kehendak dan ambisi tersembunyi mereka.

Begitulah, negara-negara maju, dengan berlindung di bawah panji Globalisasi, telah membuat kita benar-benar bergantung dan tidak berdaya. Dalam soal hutang saja, Siswono Yudo Husodo (2006) memaparkan, bahwa sejak awal berdirinya negeri ini hingga tahun 2002 cicilan pokok dan bunga utang Luar Negeri Pemerintah RI yang telah dibayar mencapai USD 127 miliar, dan utang Pemerintah ke luar negeri pada waktu ini masih tercatat USD 77 miliar. Itu pun belum ada keputusan politik kapan berhenti berhutang. Bahkan, hutang baru yang dibuat Pemerintah ke luar negeri sejak lama selalu lebih besar dari pembayaran angsuran pokok utang lama. Dalam parodi Husodo, “Negeri kita telah berada pada posisi gali lubang tutup lubang dengan lubang yang semakin dalam.”

Husodo telah membuka mata kita, bahwa bangsa kita dalam kontrol Pemerintah memiliki kemandirian yang rendah, dan justru memiliki ketergantungan yang (makin) meningkat. Manifestasinya, misalnya, terlihat dari orientasi solusi yang diambil tatkala menghadapi peningkatan kebutuhan yang sebenarnya bisa kita produksi sendiri. Kekurangan beras, solusinya impor beras, hingga kita pernah menjadi negara importir beras terbesar dunia pada 1998-2001.

Apa yang digembar-gemborkan sebagai swasembada pangan, misalnya, hanyalah isapan jempol belaka. Aneh, sebagai negeri agraris, kita masih berstatus pengimpor beras. Saat kekurangan gula, solusinya impor, hingga kini kita mengimpor 30% dari kebutuhan nasional. Saat kekurangan daging sapi, solusinya juga impor, dan kini setiap tahun kita mengimpor 25% konsumsi daging sapi. Demikian juga tatkala kita kekurangan garam.

Padahal sejatinya potensi alam yang begitu melimpah sangat memungkinkan manusia Indonesia untuk mengatasi ketergantungan tersebut, tentu dengan sentuhan tangan-tangan trampil dan pemikiran-pemikiran yang brilian. Sayangnya, potensi sumber daya manusia itu kurang dioptimalkan. Terlebih, virus hedonisme yang telah menjangkiti sebagian banyak dari kita seakan memustahilkan terwujudnya ketersediaan pangan secara memadai. Kebijakan pemerintah pun akhirnya lebih diorientasikan untuk mengatasi berbagai masalah pangan dengan pendekatan paling pragmatis.

Lebih jauh, ketidakmandirian kita juga kentara dalam mengelola sumber daya alam kita. Tambang tembaga dan emas di Papua dan Sumbawa diserahkan pengelolaannya kepada Freeport dan Newmont. Cadangan minyak di Cepu diserahkan kepada Exxon. Itu sekadar contoh betapa potensi alam kita yang melimpah tidak kita kelola sendiri, melainkan kita “serahkan” kepada bangsa lain.

Padahal, dengan dukungan tenaga-tenaga ahli dan modal yang tersedia di dunia ini, kita juga mampu mengerjakannya sendiri, seperti yang sudah dilakukan oleh India misalnya. India sukses dengan pembangunan yang bertema “Pro-People” dengan tingkat pemerataan tinggi dan kemandirian besar. India memenuhi kebutuhan sehari-harinya—dari makanan, pakaian, mobil, traktor, tank, kapal selam, pesawat tempur, dan lain-lain—dengan buatan sendiri, meski kurang bagus.

Ini bukti, bahwa inti kemajuan bangsa adalah kepercayaan diri untuk melandasi kemandirian politiknya dengan kemandirian ekonomi; karena tidak ada kemandirian politik tanpa kemandirian ekonomi.

Jika dicermati, lemahnya kemandirian ekonomi—dan implikasinya juga lemahnya kemandirian politik—menunjukkan bahwa identitas nasional kita rapuh dan keropos di mata dunia. Retorika bahwa negara Indonesia besar dan tangguh masih jauh panggang dari api. Nah, “kelemahan” inilah yang tampaknya kini menjadi incaran bagi negara-negara maju untuk memainkan hegemoni dan dominasinya—tidak hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang-bidang lain.

Karena itu, membangun dan “memantapkan kemandirian bangsa” (istilah Husodo) merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Strategi kebudayaan semacam apakah yang sepatutnya diambil untuk mendekati permasalahan yang sangat rumit ini?

Yang paling mendasar, adalah membangun (kembali) mental bangsa agar menjadi bangsa yang mandiri, yang lepas dari ketergantungan pada bangsa lain. Fakta menunjukkan, bahwa selama ini banyak pengelola negeri ini yang bermental kuli dan kerdil, yang rela diperbudak oleh kepentingan bangsa asing. Jika pemimpin India menantang setiap investor dengan ”Sejauh mana Anda [calon investor] menguntungkan negara (termasuk penyerapan tenaga kerja)?”, maka oknum-oknum pemimpin Indonesia lebih suka dengan pertanyaan,”Berapa Anda mampu memberikan komisi ke rekening kami?”

Kepentingan pribadi dan kelompok dikedepankan dengan segala antusiasme, sementara kepentingan bangsa keseluruhan malah ditelantarkan dan diabaikan sama sekali. Konyolnya, orang-orang yang bermental “lurus dan benar” malah dibabat, dilibas, dan disingkirkan. Singkatnya, dengan demikian, pembangunan mentalitas bangsa seharusnya digarap dengan harga yang pantas.

Pembangunan mentalitas ini secara vertikal ditempuh dengan pendidikan yang mencerahkan. Ini mungkin terdengar klise, namun benar, bahwa sampai detik ini harapan untuk memajukan pendidikan secara optimal belum pernah tercapai. Paradigma pembangunan terlampau menitikberatkan pembangunan ekonomi, fisik, infrastruktur, dan mengabaikan pembangunan jiwa dan mentalitas bangsa. Sudah tiba saatnya pendidikan memperoleh perlakukan sangat-sangat serius, termasuk pendanaan yang memadai. Meski belakangan ini dunia pendidikan mulai diperhatikan, toh kita perlu selalu mendorong akan perbaikannya.

Sementara itu, secara horizontal, kita seharusnya menggalakkan dialektika budaya untuk meneguhkan spirit multikulturalisme. Berbagai dialog lintas-budaya, yang juga pernah dirintis oleh sejumlah elemen bangsa, juga harus diupayakan peningkatannya. Upaya ini mesti terus-menerus digalakkan untuk mendefiniskan  identitas nasional secara dinamis selaras dengan perkembangan zaman.

Dalam teropong tesis Brian Fay (2002), sebagai agen aktif, kita harus bertindak aktif dalam proses kebudayaan, untuk senantiasa memupuk spirit multikulturalisme, menciptakan identitas nasional yang membanggakan, dan meretas kemandirian bangsa. Kemandirian bangsa haruslah kita susun, kita hidupkan, dan kita rebut—tidak cukup hanya kita serahkan pada kenyataan dan dinamika sejarah. Kemenangan tidak akan pernah jatuh dari langit, atau datang tiba-tiba, dan muncul dengan sendirinya. Kemenangan besar harus disusun dengan sekian banyak kemenangan kecil dengan tujuan jelas dan terarah.

Dengan identitas nasional yang kuat dan patut dibanggakan, secara gradual kita sebagai bangsa besar meretas, membangun, dan memantapkan kemandirian, baik kemandirian ekonomi, kemandirian politik, kemandirian budaya—dan secara simultan: kemandirian bangsa. Dengan kemandirian ini, akan lepas pulalah ketergantungan bangsa kita terhadap bangsa lain. Mudah-mudahan kita suatu saat mampu menjadi agen yang berperan sebagai subjek, penentu, pemain yang diperhitungkan dunia internasional.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar