Much. Khoiri
Jumlah penduduk Indonesia menduduki peringkat
dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat, namun kita belum memiliki
identitas nasional yang kuat, belum memiliki peradaban yang berpengaruh. Kita
belum diperhitungkan sebagai bangsa yang penting dalam percaturan dunia—bahkan
hanya dianggap sebagai bangsa Dunia Ketiga yang lemah dan tidak memiliki daya
tawar yang layak. Kebesaran jumlah penduduk masih identik dengan berbagai
kelemahan.
Bahkan, menurut survei ASEAN Foundation terhadap
2.170 mahasiswa berusia 17-25 tahun, Indonesia kurang terkenal di kalangan muda
dan terpelajar—kalah dibandingkan dengan Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Indonesia, sebagai salah satu negara pendiri ASEAN, terbesar, terluas, dan terbanyak
penduduknya, secara ironis hanya dianggap sebagai “negeri yang kecil.”
(Jawa Pos, 17/01/2008).
Kekurang-populeran Indonesia—bahkan di kawasan ASEAN sekalipun—mengimplikasikan betapa lemahnya kedudukan
Indonesia dalam percaturan regional, terlebih lagi dalam percaturan
internasional, dan karena itu daya tawarnya tidak laik dianggap kuat dan berwibawa. Dalam kalimat lain,
Indonesia mungkin lebih patut diibaratkan sebagai manusia tambun yang tidak
lincah bergerak, dan yang identik dengan inferioritas.
Hal demikian menyebabkan bangsa-bangsa maju yang
superior dapat dengan leluasa memandang rendah kita, dan mengklaim kejayaan dominasi atau hegemoninya—bahkan melancarkan
imperialisme baru baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Dengan pintu globalisasi, negara-negara maju
melemahkan kita habis-habisan. Lewat gerbang globalisasi,
mereka telah melancarkan gerakan ‘hegemoni’, yakni menggiring kita agar menilai
dan memandang problematika sosial [ekonomi] dan budaya dalam kerangka yang
diinginkan, dengan suka-rela dan tanpa paksaan (Gramsci dalam Patria &
Arief, 2003: 120-121).
Negara-negara maju tersebut menciptakan sejumlah
mekanisme, sistem maupun simbol, dan dengannya berusaha untuk menghegemoni dan
mengangkangi opini masyarakat internasional; dan bahkan berusaha mengarahkan
masyarakat internasional untuk berpikir dan merasa menurut apa yang dikehendaki untuk dipikirkan dan
dirasakan.
Bahkan,
dalam bahasa Dirks et.al (1994:
596), negara-negara maju tidak hanya menghegemoni kita pada tingkat ideologi,
manipulasi atau indoktrinasi, tetapi juga meliputi hampir keseluruhan praktik
dan harapan atas kehidupan secara utuh, termasuk indera dan energi kita, dan
bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri dan dunia kita. Alangkah dahsyat dan
halusnya globalisasi dikampanyekan ke sekeliling kita. Dan alangkah tidak
berdayanya kita menghadapinya.
Dari perspektif ekonomi politik, aktor-aktor
utama globalisasi itu—yakni TNCs, WTO, dan IMF/World Bank—menetapkan
aturan-aturan tentang investasi, hak milik intelektual dan kebijakan
internasional, serta mendesak atau mempengaruhi negara-negara untuk
menyesuaikan kebijakan nasionalnya bagi kelancaran globalisasi atau
pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.
Dalam hal ini mereka telah memainkan ‘ekonomi
politik internasional’ yang canggih, yakni mengakses peran kekuasaan
[negara-negara Dunia Ketiga] untuk mempengaruhi dan mewarnai pengambilan
keputusan ekonomi (Mas’oed, 1994; Staniland, 2003)—tentu saja agar sejalan
dengan kepentingan globalisasi.
Mekanisme pengintegrasian itu ditempuh dengan mengubah berbagai kebijakan yang menghalangi ketiga aktor globalisasi tersebut (terutama TNCs) untuk melancarkan ekspansi produksi, pasar, dan investasi. Permainannya tingkat tinggi; target pemainnya adalah elit-elit politik dan ekonomi yang memiliki kepentingan tersembunyi. Retorika politik yang mengatasnamakan rakyat hanyalah isapan jempol—dan merupakan akumulasi ironi dan paradoks yang sulit dinalar.
Mereka dalam posisi dominan dan menentukan. Langkah-langkah reformasi yang mereka dukung dimaksudkan untuk melapangkan jalan menuju tercapainya target penguasaan ekonomi global. Dengan pasal-pasal IMF dan World Bank, mereka bisa menekan negara-negara peminjam, termasuk Indonesia tentunya, untuk mematuhi kehendak dan ambisi tersembunyi mereka.
Begitulah, negara-negara maju, dengan berlindung di bawah
panji Globalisasi, telah membuat kita benar-benar bergantung dan tidak berdaya.
Dalam soal hutang saja, Siswono Yudo Husodo (2006) memaparkan, bahwa sejak awal
berdirinya negeri ini hingga tahun 2002 cicilan pokok dan bunga utang Luar
Negeri Pemerintah RI yang telah dibayar mencapai USD 127 miliar, dan utang
Pemerintah ke luar negeri pada waktu ini masih tercatat USD 77 miliar. Itu pun
belum ada keputusan politik kapan berhenti berhutang. Bahkan, hutang baru yang
dibuat Pemerintah ke luar negeri sejak lama selalu lebih besar dari pembayaran
angsuran pokok utang lama. Dalam parodi Husodo, “Negeri kita telah berada pada
posisi gali lubang tutup lubang dengan lubang yang semakin dalam.”
Husodo
telah membuka mata kita, bahwa bangsa kita dalam kontrol Pemerintah memiliki
kemandirian yang rendah, dan justru memiliki ketergantungan yang (makin)
meningkat. Manifestasinya, misalnya, terlihat dari orientasi solusi yang
diambil tatkala menghadapi peningkatan kebutuhan yang sebenarnya bisa kita
produksi sendiri. Kekurangan beras, solusinya
impor beras, hingga kita pernah menjadi negara importir beras terbesar dunia
pada 1998-2001.
Apa yang digembar-gemborkan sebagai swasembada pangan,
misalnya, hanyalah isapan jempol belaka. Aneh, sebagai negeri agraris, kita
masih berstatus pengimpor beras. Saat kekurangan gula, solusinya impor, hingga
kini kita mengimpor 30% dari kebutuhan nasional. Saat kekurangan daging sapi,
solusinya juga impor, dan kini setiap tahun kita mengimpor 25% konsumsi daging
sapi. Demikian juga tatkala kita kekurangan garam.
Padahal sejatinya potensi alam yang begitu melimpah
sangat memungkinkan manusia Indonesia untuk mengatasi ketergantungan tersebut,
tentu dengan sentuhan tangan-tangan trampil dan pemikiran-pemikiran yang
brilian. Sayangnya, potensi sumber daya manusia itu kurang dioptimalkan.
Terlebih, virus hedonisme yang telah menjangkiti sebagian banyak dari kita
seakan memustahilkan terwujudnya ketersediaan pangan secara memadai. Kebijakan
pemerintah pun akhirnya lebih diorientasikan untuk mengatasi berbagai masalah
pangan dengan pendekatan paling pragmatis.
Lebih jauh, ketidakmandirian
kita juga kentara dalam mengelola sumber daya alam kita. Tambang tembaga dan
emas di Papua dan Sumbawa diserahkan pengelolaannya kepada Freeport dan
Newmont. Cadangan minyak di Cepu diserahkan kepada Exxon. Itu sekadar contoh betapa potensi alam kita yang melimpah
tidak kita kelola sendiri, melainkan kita “serahkan” kepada bangsa lain.
Padahal, dengan dukungan
tenaga-tenaga ahli dan modal yang tersedia di dunia ini, kita juga mampu
mengerjakannya sendiri, seperti yang sudah dilakukan oleh India misalnya. India
sukses dengan pembangunan yang bertema “Pro-People” dengan tingkat pemerataan
tinggi dan kemandirian besar. India memenuhi kebutuhan sehari-harinya—dari
makanan, pakaian, mobil, traktor, tank, kapal selam, pesawat tempur, dan
lain-lain—dengan buatan sendiri, meski kurang bagus.
Ini bukti, bahwa inti
kemajuan bangsa adalah kepercayaan diri untuk melandasi kemandirian politiknya
dengan kemandirian ekonomi; karena tidak ada kemandirian politik tanpa
kemandirian ekonomi.
Jika dicermati, lemahnya
kemandirian ekonomi—dan implikasinya juga lemahnya kemandirian
politik—menunjukkan bahwa identitas nasional kita rapuh dan keropos di mata
dunia. Retorika bahwa negara Indonesia besar dan tangguh masih jauh panggang
dari api. Nah, “kelemahan” inilah yang tampaknya kini menjadi incaran bagi
negara-negara maju untuk memainkan hegemoni dan dominasinya—tidak hanya dalam
bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang-bidang lain.
Karena itu, membangun dan
“memantapkan kemandirian bangsa” (istilah Husodo) merupakan suatu keniscayaan
yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Strategi kebudayaan semacam apakah yang
sepatutnya diambil untuk mendekati permasalahan yang sangat rumit ini?
Yang paling mendasar, adalah
membangun (kembali) mental bangsa agar menjadi bangsa yang mandiri, yang lepas
dari ketergantungan pada bangsa lain. Fakta menunjukkan, bahwa selama ini
banyak pengelola negeri ini yang bermental kuli dan kerdil, yang rela
diperbudak oleh kepentingan bangsa asing. Jika pemimpin India menantang setiap
investor dengan ”Sejauh mana Anda [calon investor] menguntungkan negara
(termasuk penyerapan tenaga kerja)?”, maka oknum-oknum pemimpin Indonesia lebih
suka dengan pertanyaan,”Berapa Anda mampu memberikan komisi ke rekening kami?”
Kepentingan pribadi dan
kelompok dikedepankan dengan segala antusiasme, sementara kepentingan bangsa
keseluruhan malah ditelantarkan dan diabaikan sama sekali. Konyolnya,
orang-orang yang bermental “lurus dan benar” malah dibabat, dilibas, dan
disingkirkan. Singkatnya, dengan demikian, pembangunan mentalitas bangsa
seharusnya digarap dengan harga yang pantas.
Pembangunan mentalitas ini secara
vertikal ditempuh dengan pendidikan yang mencerahkan. Ini mungkin terdengar
klise, namun benar, bahwa sampai detik ini harapan untuk memajukan pendidikan
secara optimal belum pernah tercapai. Paradigma pembangunan terlampau menitikberatkan
pembangunan ekonomi, fisik, infrastruktur, dan mengabaikan pembangunan jiwa dan
mentalitas bangsa. Sudah tiba saatnya pendidikan memperoleh perlakukan sangat-sangat serius,
termasuk pendanaan yang memadai. Meski belakangan ini dunia pendidikan mulai
diperhatikan, toh kita perlu selalu
mendorong akan perbaikannya.
Sementara itu, secara
horizontal, kita seharusnya menggalakkan dialektika budaya untuk meneguhkan
spirit multikulturalisme. Berbagai dialog lintas-budaya, yang juga pernah
dirintis oleh sejumlah elemen bangsa, juga harus diupayakan peningkatannya.
Upaya ini mesti terus-menerus digalakkan untuk mendefiniskan identitas nasional secara dinamis selaras
dengan perkembangan zaman.
Dalam teropong tesis Brian Fay (2002), sebagai agen aktif, kita
harus bertindak aktif dalam proses kebudayaan, untuk senantiasa memupuk spirit
multikulturalisme, menciptakan identitas nasional yang membanggakan, dan
meretas kemandirian bangsa. Kemandirian bangsa haruslah kita susun, kita
hidupkan, dan kita rebut—tidak cukup hanya kita serahkan pada kenyataan dan
dinamika sejarah. Kemenangan tidak akan pernah jatuh dari langit, atau datang
tiba-tiba, dan muncul dengan sendirinya. Kemenangan besar harus disusun dengan
sekian banyak kemenangan kecil dengan tujuan jelas dan terarah.
Dengan identitas nasional yang kuat dan patut
dibanggakan, secara gradual kita sebagai bangsa besar meretas, membangun, dan
memantapkan kemandirian, baik kemandirian ekonomi, kemandirian politik,
kemandirian budaya—dan secara simultan: kemandirian bangsa. Dengan kemandirian ini, akan lepas pulalah ketergantungan
bangsa kita terhadap bangsa lain. Mudah-mudahan kita suatu saat mampu menjadi
agen yang berperan sebagai subjek, penentu, pemain yang diperhitungkan dunia
internasional.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar