Jumat, 07 Desember 2012

TAHU PONG VS GURAMI


Much. Khoiri

Saya dan tim IDB Unesa sedang di lobi Gumaya Tower Hotel,  Jln. Gajah Mada Semarang. Sebuah hotel berbintang yang jangkung—dan agak arogan di antara bangunan di sekitarnya. Kami harus menginap di sini untuk mengikuti Forum PMU IDB ke-7 tanggal 28-30 November 2012 yang dipanitiai Universitas Negeri Semarang (Unnes).


Waktu sudah menunjuk 20.45. Ternyata, perlu sekitar 30 menit naik mobil pribadi panitia seminar dari  bandara Ahmad Yani  menuju hotel. Tidak jauh memang, bahkan sangat dekat. Dari rumah saya ke bandara Juanda saja perlu sekitar 65 menit naik taksi.

Meski demikian, saya sangatlah lelah. Bukan karena menempuh penerbangan dengan Wings Air yang sempat bergeronjal-geronjal akibat cuaca yang kurang bersahabat, namun karena seharian saya—dan teman-teman tim—sudah seharian menyentuh berbagai tugas di kampus. Energi dan pikiran kami seakan sudah terkuras habis seharian.

Sebenarnya saya ingin langsung masuk kamar 1007 dan memanjakan tubuh di ranjang. Namun, ternyata penyakit bawaan saya kumat: Lapar! Ya, pagi tadi saya hanya sarapan ringan, siang makan nasi sayur asam seperempat porsi, dan sore belum terisi apapun kecuali air putih. (Belakangan ini I must drink fresh water.)  Maka, pantaslah perut saya keroncongan.

***
Dari hotel kami hanya perlu melangkah 25 meter ke utara, dan sesampai di perempatan kami berbelok ke kiri. Di bahu kiri-kanan jalan sepanjang jalan ini berderet warung-warung tenda. Bebagai menu makana tersedia, tinggal pilih saja. Meski tidak sama persis dengan gang Solok di kota Kupang (NTT), jalan ini memang cukup mengasyikkan bagi orang yang suka wisata kuliner.

Ketika masih muda dulu saya sangat jago dalam urusan wisata kuliner, terlebih sepanjang tahun 1990— 1999 semasa saya menjadi pembina kemahasiswaan di fakultas saya. Suatu masa yang hampir selalu terisi wisata kuliner setiap akhir pekan—karena kami selalu rembukan tentang dunia mahasiswa.  Andaikata masih muda, sepanjang jalan di utara hotel Gumaya ini pasti membangkitkan nafsu makan saya.

Kini, kendati jiwa tetap muda, toh raga saya mulai menua, dan mulai memasang alarm pantangan “B-e-n-j-o-l-i” (bayam, emping, nangka, jeroan, otak, lemak, ikan—dan kawan-kawan!) kalau harus makan. Jadi, ketika memilih warung tenda, teman tim saya memberi kelonggaran saya untuk memilih. (Kami hampir hapal selera makanan kami, berkat seringnya makan bersama.)

Hanya dua jenis makanan yang “menarik” perhatian saya: tahu pong dan gurami. Kalau tahu pong, kaya protein nabati, cocok untuk saya; namun, yang tak menyamankan saya adalah lemak (minyak goreng). Yang paling nyaman, tentu saja, jika tahu itu direbus, dibothok, atau disayur. Ah, masak sih mau makan saja begitu merepotkan penjualnya?

Kalau gurami, jelas non-karbohidrat, protein hewani mantap, namun lazimnya saya tergoda untuk melengkapinya dengan nasi.  Padahal, belakangan ini saya berusaha menghindari nasi untuk makan malam. Inilah program diet mengurangi berat badan agar tidak tampak seperti gardu siskamling.

***
Hidup ini adalah pilihan. Keinginan hanyalah langit saja pembatasnya. Untuk menentukan pilihan di antara keinginan-keingingan pun harus memperhatikan tenggang-rasa dengan orang lain. Sekarang pun, setelah berunding dengan teman-teman tim, saya mengajak mereka andok di warung tenda gurami.

Untuk bertiga, kami memesan tiga porsi gurami bakar khas Semarang, satu porsi udang bakar, dua porsi cah kangkung, sambal terasi, dan nasi satu setengah porsi. Khusus untuk nasi itu, rencananya, satu porsi untuk teman laki saya, dan setengah porsi untuk saya. Teman perempuan saya tidak pernah makan nasi di malam hari. Kolega terakhir ini dieter yang sangat sukses!

Kenyataannya, saat menyantap makanan, dibuai aroma masakan dari berbagai penjuru, ternyata kami hanya melahap sebagian saja. Saya juga hanya makan dua sendok nasi, separuh gurami, dua sendok cah kangkung, dan seujung sendok sambal terasi, plus teh panas. Alangkah nikmatnya!

Dalam perjalanan kaki menuju hotel kami sempat memberikan dua nasi-ikan bungkus kepada pak Becak, yang kemudian diserahkan kepada isterinya—yang agaknya sedang menunggui kios kecil miliknya. Di keremangan masih bisa terlihat bias pancaran kebahagiaan di wajahnya.

Alhamdulillah, satu lagi kenikmatan hikmah telah mewarnai hidup ini. Andaikata tadi saya tidak makan malam—entah gurami atau tahu pong—pastilah saya tidak akan ditunjukkan dengan hikmah yang mencerahkan ini.***

Semarang, 28 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar